Untuk hidup sehat, kita tidak hanya membutuhkan zat-zat gizi, tetapi juga zat-zat non gizi berupa berbagai senyawa fitokimia yang merupakan komponen bioaktif untuk mencegah berbagai penyakit."
Bogor (ANTARA News) - Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, Prof Made Astawan mengatakan tanaman pangan lokal Indonesia secara alami mengandung berbagai komponen bioaktif, yang berkhasiat untuk kesehatan.
"Untuk hidup sehat, kita tidak hanya membutuhkan zat-zat gizi, tetapi juga zat-zat non gizi berupa berbagai senyawa fitokimia yang merupakan komponen bioaktif untuk mencegah berbagai penyakit," katanya, di Bogor, Minggu.
Ia menjelaskan, beberapa pangan tradisional dapat digolongkan sebagai pangan fungsional, karena selain mengandung zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, juga mengandung berbagai komponen bioaktif uang berperan penting bagi kesehatan.
Seperti tempe, pangan tradisonal Indonesia telah terbuktik bermanfaat bagi kesehatan karena memiliki aktivitas seperti, hipoglikemik, hipotensifm imonumodulator, antioksidan, anti inflamasi, anti-alergi, anti-aterosklerosis, anti-trombosit dan antimikroba.
Begitu juga Dadih (susu sapi murni yang disimpan dalam bambu, makanan tradisional dari Sumatera Barat) menghasilkan berbagai peptida dari protein yang terhidrolasi.
"Peptida-peptida ini dapat berperan untuk meningkatkan penyerapan kalsium dan zat besi, menurunkan kadar kolesterol, menurunkan tekanan darah, menekan sel tumor, antitrombotik," katanya.
Menurut Prof Made, saat ini konsusmi pangan berbahan baku lokal Indonesia jumlahnya terus menurun. Sejak 2005, mayoritas masyarakat Indonesia bertumpu pada satu sumber karbohidrat utama yakni beras dan terigu.
Di satu sisi, data dari WHO menunjukkan proporsi kematian di Indonesia sebagai besar (71 persen) dikarenakan penyakit tidak menular (PTM) yakni kardiovaskuler 37 persen, kanker 13 persen, diabetes 6 persen, penyakit perfanasan kronis 5 persen, dan PTM lainnya 10 persen. Sedangkan kematian menular dan yanh terkait kekurangan gizi hanya sebesar 22 persen.
"Tingginya kematian akibat penyakit degeneratif menunjukkan pola makan penduduk yang tidak sehat, terutama akibat konsumsi bahan pangan yang kurang beragam, berimbang dan bergizi, serta masih tingginya penggunaan gula, garam dan lemak dalam pengolahan makanan," katanya.
Dalam memperingati Hari Pangan Sedunia, Prof Made mengingatkan inovasi merupakan kunci penting dalam pengolahan pangan lokal agar menjadi produk yang dapat diterima dan menarik perhatian masyarakat.
"Dengan begitu masyarakat Indonesia tidak ragu untuk mengonsumsi pangan lokal dan memetik manfaat sehatnya," katanya.
Contoh jenis pangan lokal yang potensial dikembangkan oleh petani adalah jagung dan umbi-umbian. Selain tingkat konsumsi masyarakat tinggi, petani juga mendapat keuntungan dengan produktivitas yang tinggi.
Untuk mendorong agar petani mau menanam produk pangan lokal, perlu ada mekanisme subsidi dari pemerintah kepada petani, dan menumbuhkan permintaan dengan sosialisasi yang baik.
Sejatinya Indonesia memiliki keragaman yang tinggi dalam penyediaan bahan pangan sumber karbohidrat (lebih dari 30 jenis pangan), dengan komposisi gizi yang tidak kalah dengan beras dan sagu.
"Perlu pemberdayaan pangan lokal dalam rangka ketahanan pangan dan Indonesia," katanya.
Ia menjelaskan, beberapa pangan tradisional dapat digolongkan sebagai pangan fungsional, karena selain mengandung zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, juga mengandung berbagai komponen bioaktif uang berperan penting bagi kesehatan.
Seperti tempe, pangan tradisonal Indonesia telah terbuktik bermanfaat bagi kesehatan karena memiliki aktivitas seperti, hipoglikemik, hipotensifm imonumodulator, antioksidan, anti inflamasi, anti-alergi, anti-aterosklerosis, anti-trombosit dan antimikroba.
Begitu juga Dadih (susu sapi murni yang disimpan dalam bambu, makanan tradisional dari Sumatera Barat) menghasilkan berbagai peptida dari protein yang terhidrolasi.
"Peptida-peptida ini dapat berperan untuk meningkatkan penyerapan kalsium dan zat besi, menurunkan kadar kolesterol, menurunkan tekanan darah, menekan sel tumor, antitrombotik," katanya.
Menurut Prof Made, saat ini konsusmi pangan berbahan baku lokal Indonesia jumlahnya terus menurun. Sejak 2005, mayoritas masyarakat Indonesia bertumpu pada satu sumber karbohidrat utama yakni beras dan terigu.
Di satu sisi, data dari WHO menunjukkan proporsi kematian di Indonesia sebagai besar (71 persen) dikarenakan penyakit tidak menular (PTM) yakni kardiovaskuler 37 persen, kanker 13 persen, diabetes 6 persen, penyakit perfanasan kronis 5 persen, dan PTM lainnya 10 persen. Sedangkan kematian menular dan yanh terkait kekurangan gizi hanya sebesar 22 persen.
"Tingginya kematian akibat penyakit degeneratif menunjukkan pola makan penduduk yang tidak sehat, terutama akibat konsumsi bahan pangan yang kurang beragam, berimbang dan bergizi, serta masih tingginya penggunaan gula, garam dan lemak dalam pengolahan makanan," katanya.
Dalam memperingati Hari Pangan Sedunia, Prof Made mengingatkan inovasi merupakan kunci penting dalam pengolahan pangan lokal agar menjadi produk yang dapat diterima dan menarik perhatian masyarakat.
"Dengan begitu masyarakat Indonesia tidak ragu untuk mengonsumsi pangan lokal dan memetik manfaat sehatnya," katanya.
Contoh jenis pangan lokal yang potensial dikembangkan oleh petani adalah jagung dan umbi-umbian. Selain tingkat konsumsi masyarakat tinggi, petani juga mendapat keuntungan dengan produktivitas yang tinggi.
Untuk mendorong agar petani mau menanam produk pangan lokal, perlu ada mekanisme subsidi dari pemerintah kepada petani, dan menumbuhkan permintaan dengan sosialisasi yang baik.
Sejatinya Indonesia memiliki keragaman yang tinggi dalam penyediaan bahan pangan sumber karbohidrat (lebih dari 30 jenis pangan), dengan komposisi gizi yang tidak kalah dengan beras dan sagu.
"Perlu pemberdayaan pangan lokal dalam rangka ketahanan pangan dan Indonesia," katanya.
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2016